My Photo Skulll

Pertarungan seru

naruto vs sasuke timeskip 2

7.30.2008

Pengalaman MOS Di Spanza

Hari pertama saya di Spanza sangat menegangkan, saya di tes terlebi dahulu agar dapat memperoleh hasil untuk masuk ke kelas SBI, hari pertama pun berlalu saya dapat mengerjakan tugas dengan baik sehingga saya dapat pulang dengan tenang, keesokan harinya saya melanjutkan tes berikutnya, hingga hari pengumuman tiba, tidak menyangka saya dapat lolos ke tahap selanjutnya, ke tahap wawancara, psikotes, dan tes komputer . Saya dapat menyeselaikannya dengan baik walaupun saya tidak berpikir jawaban saya betul semua . Hari pengumuman kelulusan tiba saya merasa deg.........degan akhirnya pengumuman tiba saya tidak menyangka saya dapat masuk ke kelas SBI SMPN 1 Samarinda.
Hari petama MOS saya merasa deg................................degan, melihat muka kakak2 OSIS yang seperti kuburan ohhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh.......................................................Tapi saya akan berusaha untuk tetap tegar agar bisa menjadi siswa SMPN 1 Samarinda. Hari kedua mulai menegangkan tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk, karena Pak Hatta menyuruh para siswa baru utk meminta tanda tangan OSIS dan Panitia okkkkk hari inin berjalan lancarrrrrrrrrrrrr. Hari terakhir tiba saya mulai degg....................degan bukan main saya kira saya akan di kerjain habis2222an wahhhhhh...................................... Ternyata tidak seburuk ituuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu,saya malah diajak berteman sama kakak OSIS aduduhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh........................... Senangnya hati saya saat ditanyai seperti itu weeeeewwwwww OK itulah pengalaman saya saat MOS di SMPN 1 Samarinda


Read More...... Read More..

7.08.2008

AsIkNyA Frienster

Saat pertama kali mengenal frienster aku menganggap frienster itu tidak asyik. Entah mengapa lama-lama melihat orang bermain bersama frienster itu terlihat sangat mengasikkan wahhhhhhhh tidak terbayang sekali. Akhirnya aku penasaran ama frienster sooooooooooooo................... aku mencoba membuat frienster dengan bantuan kakakku 'n' anak-anak bubuhan Green Cyber Comunity sooooooo..................... aku belajar dan akhirnya aku merasa tertarik dgn frienster. Senang dan bangganya aku dapat beteman dengan kalian kunjungi friensterku di http://www.friendster.com/satriadananjaya


Read More...... Read More..

7.03.2008

puisi kebangkitan

Garis cakrawala adalah bayangan hampa
Memancar sinar mutiara katulistiwa
Mimpi-mimpi Sempurna datang menghampiri
Sampurnakan pertemuan rasa menggapai mimpi

Hampar luas mega terbentang
Memberi ruang gerak tak terbatas
Menggapai bintang tertinggi diatas
Menerangi bumi dengan cahaya terang

Percikan rasa menyapu nuansa
Menatap diantara yang akan
tuk memberi pencerahaan
Wujudkan angan dan asa

Dengan semangat tersimpan
Dengan tekat tertanam
Kubaktikan semua termiliki
Kepada negeri tercinta ini

Dengan harap menggebu
Menderap langkah kaki tertuju
Demi kejayaan tanah ku tercinta
Tanah Tercinta Indonesia




Read More...... Read More..

7.02.2008

MEMBANGKITKAN KEMBALI BANGSA

Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa. Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka terasa sekalilah betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan yang diselenggarakan selama Orde Baru. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur. “Api” kebangkitan bangsa ini terasa menyala-nyala dalam kesempatan semacam itu.

Sayang sekali, bahwa justru “api” inilah yang selama Orde Baru menjadi terasa pudar, redup atau “loyo”. Maka, adalah menarik (dan penting) bagi kita semua untuk merenungkan mengapa timbul gejala-gejala semacam itu. Memang, selama Orde Baru ada juga berbagai peristiwa bersejarah (antara lain : Hari Pahlawan 10 November, peringatan 17 Agustus, hari Sumpah Pemuda, hari lahirnya Pancasila, Hari Kartini dll) yang diperingati. Namun, apakah peringatan-peringatan itu bisa menyentuh jiwa banyak orang sebagai pendidikan moral dan politik? Dan, apakah peringatan-peringatan itu diselenggarakan oleh orang-orang yang betul-betul menghayati pentingnya peristiwa-peristiwa bersejarah itu ? Atau, apakah peristiwa itu diadakan sekadar sebagai upacara ritual yang “mengambang”, yang tidak berbobot, yang dangkal, dan yang sama sekali tidak berisi pesan-pesan yang berarti?

Semua soal tersebut di atas patut kita telaah. Barangkali, para pakar ilmu sejarah, pakar ilmu politik, dan pakar lainnya, dapat memberikan sumbangan untuk meneliti mengapa selama 32 tahun Orde Baru masalah-masalah sejarah perjuangan bangsa, masalah revolusi 45, masalah pendidikan moral dan pendidikan politik terasa sebagai terabaikan atau terbelakang sekali.

BUNG KARNO ADALAH DILEMMA BAGI ORDE BARU

Kalau kita telusuri dengan cermat, maka akan nyatalah bahwa masa Orde Baru yang puluhan tahun adalah periode panjang yang “mandul” dalam hal pendidikan moral bangsa, “gersang” dalam hal pendidikan politik bangsa, atau “steril” dalam hal pendidikan tentang pengabdian kepada kepentingan rakyat. Dengan dalih mengutamakan pembangunan, maka pendidikan politik telah digencet selama puluhan tahun. Kasarnya, Orde Baru adalah suatu sitem politik yang takut kepada kesadaran politik rakyat. Yang pernah dilakukan oleh Orde Baru adalah indoktrinasi politik secara otoriter dan juga salah arah, yang justru mematikan kehidupan politik yang demokratis atau kerakyatan.

Dari sudut inilah kita bisa mengerti mengapa selama puluhan tahun Orde Baru telah berusaha menghilangkan peran Bung Karno dari sejarah bangsa. Dan di sini pulalah letak dilemma yang dihadapi oleh Orde Baru. Sebab, seandainya tokoh-tokoh Orde Baru mau berbicara tentang sejarah (yang benar) tentang perjuangan bangsa, maka terpaksalah mereka juga berbicara tentang peran dan ketokohan Bung Karno. Sedangkan, bagi Orde Baru, berbicara tentang ketokohan Bung Karno (yang sebenarnya!) adalah merugikan. Sebab, Bung Karno adalah musuh Orde Baru. Sejarah (yang sebenarnya) tentang latar belakang penggulingan kekuasaan Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR adalah sesuatu yang tidak bisa dibangga-banggakan oleh mereka, bahkan telah ditutup-tutupi, atau diputar-balikkan (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Oleh karena itu, seperti yang kita saksikan selama puluhan tahun, Orde Baru telah menempuh berbagai cara untuk “memperkecil” peran dan ketokohan Bung Karno dalam sejarah perjuangan bangsa, atau “merusak”-nya sama sekali. Antara lain dengan menyebarkan isyu tentang keterlibatannya dalam G30S, atau mengecam kedekatannya dengan PKI. Orde Baru juga menciptakan suasana sehingga para pejabat atau tokoh-tokoh masyarakat tidak berbicara atau menyinggung nama Bung Karno dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat publik. Karena itu, selama puluhan tahun, banyak orang yang takut atau segan, atau tidak mau menyinggung nama Bung Karno, ketika mereka berbicara tentang sejarah perjuangan melawan kolonialisme Belanda atau ketika bicara tentang revolusi 45.

Sekadar sebagai contoh : adalah suatu hal yang menarik, kalau di kemudian hari bisa diadakan penelitian tentang pidato-pidato Suharto selama 30 tahun menjabat sebagai presiden. Berapa kalikah selama itu ia pernah bicara tentang sejarah kebangkitan nasional, tentang perjuangan menentang imperialisme dan kolonialisme, tentang peran sejarah Bung Karno, tentang revolusi 45, tentang lahirnya Pancasila?

BUNG KARNO ADALAH PROMOTOR KEBANGKITAN BANGSA

Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei, mau tidak mau kita harus mengingat kembali perjalanan sejarah bangsa kita, yang dimulai dengan lahirnya gerakan nasionalis pertama Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, hampir seratus tahun yang lalu. Pergerakan nasional ini dipimpin oleh Dokter Soetomo di Jakarta. Dengan dorongan dilahirkannya Boedi Oetomo ini, kemudian lahirlah di Surabaya dalam tahun 1912 Sarekat Islam di bawah pimpinan Haji O.S. Tjokroaminoto bersama Haji Agus Salim dan Abdul Muis. Sarekat Islam kemudian pecah menjadi SI merah dan SI putih. Dalam tahun 1912 itu lahir pula satu gerakan politik yang amat penting, yaitu Indische Partij yang dimpimpin oleh Douwes Dekker (Dr. Setiabudhi), R.M. Suwardi Suryaningrat dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Tahun 1913, partai ini dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda dan pemimpin-pemimpinnya ditangkapi dan kemudian dibuang dalam pengasingan.

Sebagai buntut perkembangan ini, maka pada tahun 1914 lahir di Semarang satu organisasi berfaham kiri (komunis), yaitu Indische Sociaal Demokratische Vereeniging (ISDV) di bawah pimpinan Sneevliet dan Semaun. Dalam tahun 1920 (23 Mei) ISDV ini telah berobah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan pimpinan Semaun juga. Dalam perjuangan melawan kolonialisme Belanda, PKI telah mencetuskan pembrontakan di Banten, Jakarta dan Yogyakarta dalam tahun 1926, dan kemudian juga di Sumatera Barat dalam tahun 1927. Setelah pembrontakan itu ditindas oleh pemerintahan kolonial Belanda, maka ribuan pimpinan dan anggota PKI ditangkapi, dan kemudian dibuang dalam pengasingan di Tanah Merah (Digul).

Perjuangan besar PKI melawan Belanda ini, setelah mengalami penindasan hebat sekali, telah diteruskan oleh Ir Soekarno dengan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) di Bandung pada tanggal 4 Juli 1927. Pimpinan PNI waktu adalah Dr. Tjipto Mangunkusumo, Mr Sartono, Mr Iskaq Tjokrohadisuryo dan Mr Sunaryo. Bung Karno, yang ketika masih mahasiswa di Bandung dan berumur 22 tahun sudah menghadiri Kongres PKI, kemudian terus berkembang menjadi seorang pemimpin gerakan nasionalis yang Muslim dan yang berhaluan kiri. (Sekedar untuk menyegarkan lagi ingatan kita bersama : dalam tahun 1926 ia sudah menulis untuk majalah Suluh Indonesia artikel tentang pentingnya persatuan perjuangan antara pergerakan politik yang beraliran nasionalisme, agama dan marxis).

Dengan menelusuri perkembangan berbegai gerakan nasional melawan kolonialisme Belanda sejak lahirnya Boedi Oetomo dalam tahun 1908 sampai 1965, maka nampak nyatalah bahwa Bung Karno adalah promotor atau penerus gerakan kebangkitan nasional. Bukan itu saja. Dari apa yang sudah diperjuangkannya sejak tahun 20-an sampai ia menjabat kepala negara, jelaslah kiranya bahwa Bung Karno telah muncul sebagai pemimpin besar kebangkitan bangsa. Gagasan-gagasan besarnya tentang kebangkitan bangsa ini telah dituangkannya dalam tindakan-tindakannya, dalam tulisan-tulisannya, dalam pidato-pidatonya, singkatnya : dalam perjalanan hidupnya. Kebangkitan bangsa adalah idam-idaman Bung Karno, menuju persatuan dan kerukunan bangsa demi memperjuangkan tercapainya masyarakat adil dan makmur.

GERAKAN KEBANGKITAN NASIONAL ADALAH KIRI

Dalam konteks perkembangan sejarah perjuangan melawan kolonialisme, gerakan-gerakan seperti Boedi Oetomo, Perhimpunan Indonesia (PI) di Nederland, Sarekat Islam, PKI, PNI, Partindo, GAPI, Gerindo dan lain-lainnya, bolehlah kiranya dikatakan bahwa semua gerakan itu berhaluan kiri, atau, setidak-tidaknya memiliki aspek-aspek kiri. Sebab, dalam sejarah modern dunia atau literatur politik dunia, kata “kiri” disebut untuk mengungkapkan fikiran, sikap atau kegiatan yang menghendaki, antara lain : adanya perobahan dalam masyarakat untuk memperjuangkan keadilan sosial, melawan penindasan atau pemerasan terhadap rakyat banyak, melawan kediktatoran modal atau melawan kekuasaan sewenang-wenang segolongan orang atau suatu kekuasaan politik. Dalam konteks perjuangan melawan kolonialisme Belanda, gerakan yang secara tegas atau radikal melawan Belanda waktu itu telah digolongkan kiri. Gerakan kiri ini juga termanifestasikan dalam sikap “non-koperasi” (tidak mau kerjasama) dengan pemerintahan kolonial.

Dengan pengertian itu maka bisa dilihat bahwa perjuangan nasional melawan kolonialisme Belanda yang dipimpin oleh Bung Karno sejak tahun 1927 adalah gerakan kiri. Oleh karena itu pulalah Bung Karno (bersama-sama kawan-kawannya yang lain) dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda, dan kemudian harus ditangkap, diadili, dipenjarakan dan kemudian dibuang dalam pengasingan. Demikian juga halnya dengan PNI, yang karena dianggap berbahaya maka dinyatakan sebagai partai terlarang, dan harus dibubarkan.

Oleh karenanya, dalam perjuangan bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda kata “kiri” mempunyai arti yang terhormat di kalangan kaum pergerakan. Ini berlainan dengan kata “kanan” yang mempunyai konotasi yang negatif (umpamanya konotasi : sikap tidak tegas, sikap penakut, plintat-plintut, sikap “lunak” atau condong “kompromi”, bahkan ketaklukan atau pengkhianatan). Wajarlah kalau, pada waktu itu, para ambtenaar “inlander” (orang-orang Indonesia yang bekerja-sama dengan pemerintah kolonial Belanda) menganggap orang-orang kiri sebagai orang-orang yang jahat.

Pengertian yang sama juga bisa ditrapkan kepada peristiwa bersejarah lainnya, yaitu pembrontakan PKI tahun 1926. Bagi mereka yang berjuang melawan kolonialisme Belanda, peristiwa ini mendapat tempat yang terhormat dalam hati. Sebab, ini adalah manifestasi gerakan kiri yang menonjol, yang kemudian telah memberikan inspirasi bagi kelanjutan perjuangan bangsa selanjutnya. Pembrontakan PKI tahun adalah bagian penting dari sejarah kebangkitan nasional, dan telah memberikan sumbangan penting pula kepada kebangkitan bangsa.

Dalam rangka memperingati HUT ke-100 Bung Karno patutlah kiranya sama-sama kita ingat bahwa Bung Karno mempunyai peran sejarah yang penting dalam meneruskan, mengembangkan dan memimpin kebangkitan nasional yang dimulai 20 Mei 1908. Buku “Dibawah Bendera Revolusi” jilid pertama dan kedua, serta pidato-pidatonya yang lain, memantulkan dengan jelas gambaran betapa “gandrung”-nya (cinta-besarnya) kepada kebangkitan bangsa.

Sebaliknya, mohon sama-sama kita renungkan, betapa sedihnya bagi bangsa kita (termasuk bagi generasi yang akan datang) bahwa sejarah kebangkitan bangsa yang dipimpin oleh Bung Karno ini, telah secara besar-besaran dan juga dalam jangka lama, mengalami “de-politisasi”, atau “de-sukarnoisasi” atau “de-revolusi”. Mohon juga sama-sama kita tafakurkan, betapa sedihnya bahwa selama puluhan tahun ini Hari Kebangkitan Nasional ini telah diperingati secara hambar, secara dangkal, secara palsu, atau secara kosong-jiwa. Ini tidak hanya di Jakarta saja, melainkan juga di daerah-daerah atau di kota-kota kecil. Juga betapa sayangnya, bahwa tidak banyak tulisan-tulisan dalam media pers, yang berani (atau yang mau!) mengangkat peran sejarah Bung Karno yang cukup penting sebagai penerus atau pendorong kebangkitan bangsa. Dalam hal ini, dosa para pendukung setia Orde Baru adalah besar sekali.

BUNG KARNO YANG “KIRI” DIMUSUHI ORDE BARU

Dari sejarah penggulingan Bung Karno oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR, yang latar-belakangnya mulai terbuka sedikit demi sedikit, maka jelaslah bahwa ia telah dihancurkan oleh kekuatan-kekuatan tertentu dalamnegeri (dan sekaligus juga oleh kekuatan-kekuatan luarnegeri) disebabkan oleh pendirian politiknya, gagasan-gagasannya dan cara berfikirnya. Dalam berbagai kesempatan, sejak umur 25 tahun, ia menyatakan bahwa ia adalah seorang nasionalis, yang sekaligus juga seorang penganut agama Islam, dan yang menggunakan metode berfikir marxis dalam memandang berbagai persoalan masyarakat dan bangsa.

Pendiriannya atau cara berfikirnya inilah yang telah membikin Bung Karno menjadi tokoh besar sejak ia menulis dalam Suluh Indonesia (1926) tentang gagasannya yang kemudian menjadi konsep NASAKOM di kemudian hari, sejak ia mengucapkan pidatonya yang bersejarah “Indonesia Menggugat”, sejak ia mendorong lahirnya Sumpah Pemuda (1928). Pendiriannya atau cara berfikirnya inilah yang menyebabkan ia dipenjara dan kemudian dibuang dalam pengasingan. Pendiriannya atau cara berfikirnya ini pulalah yang telah melahirkan Pancasila, yang melahirkan Konferensi Bandung, yang membikin terdengarnya pidatonya “To Build The World Anew” di PBB, yang menyerukan “Go to Hell With Your Aid” kepada AS, yang melahirkan Dekon (Deklarasi Ekonomi), yang melahirkan Manipol. Juga, pendiriannya atau cara berfikirnya inilah yang mengucapkan pidatonya “Yo sanak yo kadang, malah yen mati aku sing kelangan” (Ya saudara, ya keluarga, kalau mati saya ikut kehilangan) di depan resepsi Kongres ke-6 PKI (1959) di Jakarta.

Bagi pengamat sejarah atau pengamat politik, atau siapa saja yang menaruh minat kepada sejarah perjuangan Bung Karno ada satu hal yang menarik tentang gandrungnya atau komitmennya yang besar kepada kebangkitan bangsa Indonesia. Dalam setiap pidato “17 Agustus”-nya sejak 1958 sampai 1965, Bung Karno makin lama makin banyak menyebut “revolusi”, “perjoangan” atau “revolusioner”. Mungkin dalam sejarah modern dunia, jarang ada kepala negara atau pemimpin bangsa yang berbicara soal pentingnya revolusi sesering yang dibicarakan oleh Bung Karno. (sekadar perbandingan : Kemal Attaturk? Gamal Abdul Nasser? Jawaharlal Nehru? Mao Tse-tung? Dr. Kwame Nkrumah? ).

Yang berikut adalah ajakan penulis kepada para pembaca untuk mencoba bersama-sama menjabarkan satu gejala yang unik. Yaitu ke-“unik”-an Bung Karno dalam usahanya untuk terus-menerus membangkitkan bangsa, seperti yang tercermin dalam pidato kenegaraannya 17 Agustus 1964, yang terkenal dengan judul TAVIP (Tahun Vivere Pericoloso, atau “Hidup Menyerempet-rempet Bahaya”). Dalam pidatonya yang cukup panjang itu, Bung Karno telah mengucapkan kata-kata : “revolusi” lebih dari 140 kali, “revolusioner” lebih dari 30 kali, “rakyat” lebih dari 80 kali, “imperialis” lebih dari 30 kali, “perjuangan” lebih dari 20 kali, “Nasakom” lebih dari 7 kali, “buruh“ lebih dari 10 kali, “tani” lebih dari 12 kali.

Kalau direnungkan dalam-dalam, maka memang luarbiasa Bung Karno kita ini ! Dengan membaca kembali pidato TAVIP-nya Bung Karno itu (juga pidato-pidatonya yang lain), maka nyatalah bahwa Bung Karno selalu berusaha membangkitkan bangsa Indonesia, untuk menjadi bangsa yang besar, bangsa yang bersatu dalam kerukunan, yang rukun dalam perbedaan, yang bergotong-royong dalam perjuangan di bawah lambang Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila (yang asli !!!). Ia telah bisa membangkitkan bangsa, sejak muda, dengan konsep-konsep perjuangan yang berjiwa revolusioner kiri.

Bung Karno menjadi tokoh besar, baik dalam tingkat nasional maupun internasional, berkat gagasan-gagasannya yang berjiwa kiri, yang konsekwen mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa, yang melawan imperialisme dan neo-kolonialisme beserta kakitangan mereka di dalamnegeri. Karena itulah maka Bung Karno dianggap berbahaya dan telah dijatuhkan oleh para pendiri Orde Baru/GOLKAR dan sekaligus juga oleh kekuatan-kekuatan asing (tentang soal ini ada catatan tersendiri).

Sejak digulingkannya Bung Karno dari kepemimpinan nasional, maka “mandeg”-lah kebangkitan bangsa selama puluhan tahun. Seperti yang bisa disaksikan dewasa ini, apa yang terjadi selama Orde Baru adalah keterpurukan bangsa, kemerosotan moral secara besar-besaran atau kerusakan budi-pekerti yang menyeluruh di segala bidang, terutama di kalangan “elite”, baik yang di eksekutif, legislatif, judikatif, maupun di sebagian kalangan intelektual dan kebudayaan.

Perkembangan kehidupan politik akhir-akhir ini membuktikan dengan jelas bahwa gerakan ekstra-parlementer yang kuat dan besar diperlukan sekali untuk mencegah berkelanjutannya proses pembusukan bangsa. Dari praktek-praktek sebagian terbesar partai-partai politik kelihatan nyata sekali bahwa tidak banyaklah yang bisa diharapkan lagi dari mereka akan adanya perbaikan-perbaikan yang fondamental. Sebagian terbesar para anggota DPR, yang mewakili partai-partai hasil pemilu yang lalu, sudah diragukan oleh banyak orang tentang legitimasi mereka untuk berbicara atas nama rakyat. Sisa-sisa kekuatan Orde Baru masih bercokol di mana-mana.

Dalam situasi yang begini rumit dan parah di segala bidang, yang ditimbulkan oleh kebobrokan sistem politik Orde Baru/GOLKAR selama lebih dari 32 tahun, maka peran gerakan ekstra-parlementer untuk membangkitkan kembali bangsa adalah penting sekali. Adalah menggembirakan bahwa akhir-akhir ini berbagai gerakan mahasiswa, gerakan pemuda, gerakan buruh, gerakan tani, perkumpulan seniman dan budayawan, LSM atau Ornop sudah terus-menerus melancarkan berbagai aksi lewat segala macam cara dan bentuk dan di beraneka bidang.

Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang akan datang, adalah perlu sekali untuk mengenang kembali jasa dan peran Bung Karno dalam membangkitkan bangsa. Jiwa besar Bung Karno dalam terus-menerus membangkitkan bangsa dapat dijadikan sumber inspirasi bagi perjuangan berbagai golongan dewasa ini untuk meneruskan reformasi. Makin terasa sekalilah, sekarang ini, bahwa suara Bung Karno perlu didengar lagi oleh sebanyak mungkin orang.





Read More...... Read More..

Hari ini 99 tahun yang lalu, Budi Utomo berdiri, sebuah perhimpunan yang mengawali tumbuhnya rasa nasionalisme. Walau masih terbatas di Pulau Jawa, Budi Utomo dianggap menjadi cikal bakal kebangkitan nasional bangsa Indonesia.

Penggagasnya adalah Dr Wahidin Sudirohusodo. Bersama sejumlah mahasiswa STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen-Sekolah Kedokteran Bumiputra), ia mengajukan usul untuk membentuk perhimpunan demi tujuan mengusahakan persatuan kaum bumiputra yang sedapat mungkin bersifat umum. Walau digagas oleh orang-orang Jawa (penghuni Pulau Jawa) dan bersifat lebih kejawaan (Jawa, Sunda dan Madura), tetapi perhimpunan ini bersifat terbuka untuk semua orang pribumi, berbeda dengan perhimpunan pribumi sebelumnya yang bersifat eksklusif dan tertutup. Lalu sejumlah nama seperti Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh dan Soeleman dikaitkan dengan proses berdirinya perhimpunan Budi Utomo ini.

Berdirinya Budi Utomo, ternyata langsung mendapat sambutan oleh sejumlah mahasiswa dan orang-orang pribumi lain. Dukungan mengalir dari beberapa sekolah pribumi seperti Sekolah Pertanian (landbouwschool) di Buitenzorg (sekarang Bogor), Sekolah Dokter Hewan (Veeartsenijschool) di tempat yang sama, menyusul Sekolah Kepala Negeri (Hoofdenschool) di Magelang dan Probolinggo, Sekolah Malam untuk Penduduk (Burgeravonschool) di Surabaya, Sekolah Pendidikan Guru Bumiputra di Bandung, Yogyakarta dan Probolinggo.

Ada satu energi besar yang bisa menyatukan semua orang-orang pribumi ini. Mungkin karena perasaan senasib dan keinginan untuk memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda). Serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Sementara para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan—yang dalam bahasa kini dinilai bermental korup.

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, sejarah berdirinya Budi Utomo kemudian tetap dikenang sebagai tonggak kebangkitan nasional. Dan tanggal 20 Mei—sebagai hari berdirinya Budi Utomo—dijadikan sebagai tanggal peringatan kebangkitan nasional hingga ini hari.

Berbicara mengenai sejarah di Indonesia, sejumlah ahli berpendapat bahwa kebanyakan sejarah dibangun lebih berdasarkan mitos ketimbang fakta. Sehingga banyak orang yang mempertanyakan kembali kebenaran sejarah dan mengkritisi hal-hal yang dianggap tidak masuk akal dalam penulisan sejarah. Perbedaan esensial antara sejarah dan mitos kadang dikaburkan.

Sebuah catatan yang penting sehubungan dengan sejarah dan mitos tersebut adalah bahwa sejarah semestinya dibangun berdasarkan bukti-bukti faktual. Sedangkan "mitos sejarah" berhubungan dengan pemberian makna atas suatu fakta sejarah dalam upaya memberikan semacam spirit atau pemahaman kepada masyarakat. Walau pada praktiknya seringkali mitos sejarah sarat dengan muatan politik hingga perlu dipertanyakan lagi, apakah ia benar-benar dibuat untuk kepentingan masyarakat atau hanya untuk kepentingan lain.

Ironisnya, kini semangat kebangkitan nasional mulai luntur. Ada kecenderungan masyarakat untuk kembali pada sifat kedaerahannya. Korupsi masih bercokol, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan masih merajam, kehidupan politik yang tidak (belum) sehat dan sederet persoalan lain.
Muncul pertanyaan di relung publik, apakah kebangkitan nasional masih memiliki "jiwa" dan diresapi oleh masyarakat?

Latar Belakang Budi Utomo
Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan beberapa mahasiswa dan tokoh pemuda pribumi di STOVIA di Jakarta. Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa banyak perkumpulan pribumi yang hanya mementingkan golongan sendiri dan tertutup. Sementara Pemerintah Hindia Belanda jelas tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib kaum pribumi. Bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan.

Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Dr Wahidin dan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif, tetapi terbuka untuk siapa saja, tanpa melihat kedudukan, kekayaan atau pendidikannya.

Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa seperti Sumatera, Manado, Borneo dan Ambon. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya.

Dengan demikian, pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja. Karena menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.

Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama.

Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat pro perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa.

Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya, "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah antara lain oleh Tjokroaminoto menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda.

Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij, karena dalam arena politik, Budi Utomo memang belum bisa berbuat banyak.

Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut, yaitu etika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi. Ini mengobarkan amarah rakyat pribumi (bangsa jajahan).

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun sejak itu, Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi. Walau kemudian tafsiran terhadap gerakan perhimpunan Budi Utomo ini menimbulkan berbagai versi yang berbeda, setidaknya bisa ditarik sebuah garis bahwa cikal bakal kebangkitan nasional hadir melalui perhimpunan Budi Utomo.

Kebangkitan Nasional Jangan Hanya Seremonial
Ada satu hal yang sudah selama puluhan tahun tidak menjadi pemikiran banyak orang, yaitu gejala bahwa Hari Kebangkitan Nasional 20 Mei sudah tidak lagi diperingati secara khidmat atau selayaknya sebagai peristiwa yang penting dalam sejarah bangsa.

Bagi mereka yang masih ingat kepada masa di bawah kepemimpinan Bung Karno, maka akan terasa betapa besar bedanya antara peringatan Hari Kebangkitan Nasional sebelum 1965 dengan pasca-Orde Lama. Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan sampai 1965 selalu sarat dengan dikobarkannya semangat untuk menghormati jasa-jasa para perintis kemerdekaan, semangat untuk mempersatukan bangsa, semangat untuk bersama-sama meneruskan revolusi menuju masyarakat adil dan makmur.

Hal ini juga diakui oleh Timbas Tarigan, Ketua Komisi E DPRD Sumut. Saat ini peringatan Kebangkitan Nasional hanya sekadar sebuah seremonial saja, sehingga arti pentingnya kebangkitan nasional terlupakan," terang Timbas Tarigan.

Timbas Tarigan berharap agar momen kebangkitan nasional bukan hanya diperingati secara seremonial belaka, tetapi hendaknya dapat dijadikan sebagai momen introspeksi diri terhadap apa yang telah kita lakukan selama ini.

Sependapat dengan Timbas Tarigan, Ikrimah Hamidi ST Ketua FPKS DPRD Kota Medan mengatakan bahwa momen kebangkitan nasional jangan hanya dijadikan sebagai kegiatan seremonial saja. Menurut Ikrimah Hamidi, hal ini karena negara Indonesia saat ini benar-benar berada dalam kondisi yang sangat kritis.

"Lihat saja keadaanya, korupsi yang semakin parah, mutu pendidikan yang masih rendah, kemiskinan,… dan sederet persoalan lainnya," papar Ikrimah Hamidi.

Lebih rinci Ikrimah mengungkapkan, saat ini masyarakat sudah banyak kehilangan identitas diri. Seolah-olah nasionalisme itu hanya diartikan sebagai kecintaan terhadap bangsa yang ditunjukkan dengan perayaan-perayaan dan acara seremonial saja. Tetapi sikap nyata untuk membangun bangsa dengan taat hukum, tidak korupsi, menjaga kebersihan, melindungi sesama, memberi toleransi agama dengan kepercayaan masing-masing, tidak diperhatikan sebagai hal mendasar dalam menyikapi nasionalisme.


Read More...... Read More..

7.01.2008

Pejalanan Idonesia

Apa?

Seratus tahun telah kita lalui sejak ditetapkannya tangal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Nilai-nilai Kebangkitan Nasional yang diperjuangkan para pendahulu kita telah menjadi perekat jalinan persatuan dan kesatuan diantara kekuatan dan komponen bangsa. Ia telah memberi semangat untuk melepaskan diri dari penjajahan, mengejar ketertinggalan dan membebaskan diri dari keterbelakangan. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar perjuangan para pemuda yang kemudian pada tanggal 20 Mei 1908 terorganisasi dalam wadah pergerakan bernama Boedi Oetomo. Dari sinilah kemudian semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan ini semakin mengkristal dan menjadi kekuatan moral bangsa sebagaimana tertuang dalam ikrar Soempah Pemoeda, pada tanggal 28 Oktober 1928. Perjuangan panjang yang ditempuh oleh bangsa Indonesia tersebut, akhirnya kita capai dengan memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai bangsa yang Merdeka dari penjajahan.

Mengapa?

Bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang diperoleh melalui perjuangan panjang tersebut harus tetap dipertahankan, dipelihara dan dijaga. Dalam kurun waktu 62 tahun perjalanannya, berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan masih saja terjadi. Beberapa tahun terakhir ini bangsa kita dilanda dengan berbagai cobaan berupa bencana alam sebagai akibat atau pengaruh lingkungan global yang menyebabkan kerusakan di berbagai sektor kehidupan kita bahkan menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang besar. Dengan memperhatikan perkembangan dan kecenderungan penomena bangsa tersebut, maka semangat dan jiwa Kebangkitan Nasional menjadi penting untuk terus tetap digelorakan dalam setiap individu warga negara Indonesia, agar tetap waspada dalam rangka menjaga keutuhan kita sebagai sebuah bangsa yang besar dalam bingkai NKRI.

Bagaimana?

Peringatan Hari Kebangkitan Nasional ke-100 Tahun 2008 ini akan kita jadikan sebagai sebuah momentum untuk memasuki kebangkitan Nasional pada tahun-tahun berikutnya. Momentum ini ditandai dengan berbagai kegiatan dan aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dari pusat sampai daerah untuk terus mengokohkan, menguatkan dan memelihara semangat kebangkitan Nasional.




Read More...... Read More..

Puisi Kebangkitan

Bangkit itu susah………
Susah melihat orang lain susah
Senang melihat orang lain senang

Bangkit itu Takut………
Takut Korupsi
Takut makan yang bukan haknya

Bangkit itu Mencuri…….
Mencuri perhatian dunia dengan prestasi

Bangkit itu Marah………
Marah bila martabat bangsa dilecehkan

Bangkit itu malu……….
Malu menjadi benalu
Malu minta melulu

Bangkit itu Tidak ada…..
Tidak ada kata menyerah
Tidak ada kata putus asa

Bangkit itu aku………..
aku untuk INDONESIAKU




Read More...... Read More..